Mental Illness
My Story

Aku Pernah Didiagnosa Gangguan Jiwa

Siang itu saya dan temanku menuju ke salah satu rumah sakit yang ada di kota ku. Kami hendak mengurus beberapa surat keterangan sebagai kelengkapan berkas untuk mengurus sesuatu.

Kelengkapan berkas yang kami butuhkan adalah surat keterangan narkoba, surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Ketiga surat itu bisa didapatkan di rumah sakit tersebut.

Kami kemudian menuju loket untuk mengambil antrian, dan menunggu beberapa menit karena pengunjung saat itu cukup ramai. Kami pun mengambil tempat agak jauh dari tempat antrian, kebetulan di dalam rumah sakit tersebut ada jajanan yang diperjual-belikan. Jadi kami membeli beberapa saja dan menikmatinya sambil menunggu panggilan dari petugas loket.

Baca Juga : Pengalaman Pernah di Bully

Setelah giliran kami di panggil kami pun menuju ke lantai 2 rumah sakit tersebut kemudian petugas meminta kami mengambil urine untuk di cek apakah mengonsumsi narkoba atau tidak.  Kemudian, kami menunggu beberapa saat sambil menulis data diri kami dan tujuan pembuatan surat ini yang akan tertulis di surat keterangan kami. Tak lupa petugas meminta kami melampirkan foto yang akan di temple di surat keterangan tersebut.

Surat keterangan sehat jasmani dan bebas narkoba sudah selesai, kami kemudian ke luar gedung menuju ke gedung lainnya karena untuk surat keterangan rohani ini tempatnya berbeda. Setelah masuk di dalam kami di berikan nomor antrian lagi untuk menunggu giliran di panggil.

Tak memakan waktu lama petugas tersebut memanggil kami dan meminta kartu identitas kami dan memberikan lembaran soal dan jawaban untuk tes rohani. Ada 75 pertanyaan yang ada di lembar tersebut dan pilihan jawabannya cuma ada dua, YA atau TIDAK.

Baca Juga: Gara-gara Cobek 

Beberapa pertanyaan dan  jawaban saya yang masih teringat jelas adalah;

  1. Apakah Anda pernah berniat bunuh diri? YA
  2. Apakah anda takut kegelapan? TIDAK

Saya menjawabnya santai saja sesuai dengan apa yang saya alami dan kondisi saya saat itu. Setelah selesai menjawab soal saya memberikannya pada petugas. Sambil menunggu teman yang masih mengerjakan soalnya dan menunggu hasil dari dokter, saya ke luar ruangan sejenak.

Beberapa menit kemudian petugas memanggil kami dan duduk didepan dokter yang merupakan Psikiater di rumah sakit tersebut.

“Ibu begini” katanya memberikan jeda sejenak

Baca Juga: Begini Rasanya Menabrak Mobil Harga 1M

“Untuk dikatakan sehat rohani itu hasil tesnya di bawah 100 bu, dan hasil tes ibu ini 200” kata dokternya yang entah sedang menahan tawa, keheranan atau khawatir. Ketiga emosi itu bercampur aduk di wajahnya.

“Terus Dok, bukannya bagus ya kalau 200” kataku

“Begini Bu kalau sudah 200 artinya ibu mengalami GANGGUAN JIWA bu” kata dokter

Spontan teman saya memegang pundakku dan menatapku dalam-dalam lalu memelukku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Gangguan Jiwa ya dok?” tanyaku masih mengonfirmasi apakah yang kudengar barusan itu adalah kenyataan yang harus aku terima atau aku harus menyadarkan diri untuk bangun dari mimpi buruk ini.

Baca Juga : Dosen Baru ya?

“Apakah Ibu pernah dikecewakan?” lanjut dokternya bertanya

“Sering Dok” Jawabku polos

Pak Dokter menyandarkan punggunya ke sandaran kursi dan menatapku dalam-dalam

Terbayang kejadian beberapa tahun terakhir yang cukup menggoncangkan jiwa dan iman. Aku hampir kehilangan diriku sendiri, aku bahkan pernah tidak mengenali diriku sendiri.

Ketika kau mulai percaya pada beberapa teman lalu menusukmu dari belakang dan membuatmu malu didepan orang banyak, maka apa yang kau lakukan? Mental kerupuk seperti saya ini tentu tidak akan baik-baik saja.

Baca Juga: Pertama Kali Naik Pesawat Sendirian

Crush yang selama ini kau percaya bisa menjadi pendampingmu kelak ternyata menjebakmu dalam satu kata ‘friendzone’ setelah kau berkorban banyak untuknya. Selalu ada waktu untuk membantu semua kegiatannya. Membantu keluarganya ketika mereka membutuhkannya dan ternyata semuanya zonk. Apakah aku kan baik-baik saja? Tentu tidak.

Rasa percaya itu rasanya sudah musnah, memang tidak ada yang lebih memahami dibanding mereka yang selalu ada di setiap fase hidup saya selama sepuluh tahun terakhir. Untuk percaya kembali pada orang baru rasanya masih sulit.

“Jadi saya harus bagaimana Dok?” tanyaku

Pak Dokter menghela nafas yang panjang lalu memajukan badannya ke meja.

“Ibu ini gangguan jiwa tapi bukan berarti gila ya seperti orang gila dijalanan, tidak demikian. Rohani ibu sedang tidak sehat untuk saat ini” katanya setengah menjelaskan. Saya  masih terdiam menunggu penjelasan dokter selanjutnya, sedangkan teman di sebelahku sudah berair mata sejak tadi. Entah apa yang dia tangisi.

Baca Juga : Gara-Gara Memberi

“Ibu jangan terlalu curiga sama orang, harus berusaha positive thinking sama orang lain ya”

“Wah itu yang agak susah Dok” saya menimpali

“Awalnya memang agak sulit Bu tapi nanti lama-lama bisa kok, jangan terlalu tertutup ya Bu, kalau ada masalah silahkan cerita ke orang yang ibu percaya saja. Jangan dipendam sendiri” katanya

“Ini saya berikan surat keterangan sehatnya karena Ibu cukup sopan di ajak berkomunikasi, sebelum ibu ada yang ngamuk loh Bu sampai pukul-pukul meja. Jadi saya tidak berikan surat keterangan sehatnya karena memang sudah kelihatan ada yang salah dengan dia. Karena ibu kooperatif jadi saya tanda tangani ya bu suratnya” lanjutnya

“Ingat pesan saya Bu” katanya sambil tersenyum

Ku balas senyumnya lalu keluar ruangan menuju parkiran dan bergegas mengantar temanku lalu pulang ke rumah.

Di dalam kamar saya menatap langit-langit kamar yang hanya ada lampu disana.

“Apa iya saya gangguan jiwa? Emang separah itu ya”

Lalu, saya kemudian mencari beberapa artikel tentang kesehatan mental dan menghubungi keluarga yang seorang psikolog dan sahabat jauh yang punya jurusan yang sama.

Baca Juga: Penjual Kue Keliling Loslos Tes CPNS

Beberapa kali saya bercerita pada mereka dan mereka berusaha meyakinkan saya bahwa harus ada pemeriksaan lanjutan. Dari bahasa mereka saya menangkap untuk tidak terlalu memikirkan hasil tes yang keluar kemarin.

Mereka menyarankan saya untuk mengeluarkan emosi yang saya rasakan, jika senang maka berbahagialah, jika marah lampiaskan pada hal yang tepat. Masuk akal menurutku, jadi saya melanjutkan membaca beberapa referensi artikel terkait kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa orang tentang penyebab dari penyakit tersebut dan bagaimana penanganannya.

Dari beberapa sumber bacaan tersebut ada yang menarik bagi saya yaitu ‘writing is healing’. Menulis bisa menjadi salah satu terapi penyembuhan.

Artikel tersebut bisa kalian baca di laman Harvard Business Review dan American Psychological Association. Disana kalian akan menemukan banyak hasil penelitian terkait writing treatment bisa menyembuhkan.

Dari artikel tersebut saya banyak mendapatkan gambaran bagaimana menulis bisa menyembuhkan entah itu secara fisik maupun psikis. Lalu, aku mulai kembali menulis. Hobi yang sudah lama aku tinggalkan sejak masih remaja ini mengantarku pada sebuah keyakinan bahwa menulis bisa menjadi tempat pelampiasan emosi yang tepat.

Menulis puisi yang sebagain orang mengatakan cara sembunyi yang tepat namun terlihat. Maksudnya adalah kita bisa meluapkan emosi dalam sebuah kata dengan makna tersirat. Kita bisa lega mengeluarkan semua uneg-uneg kita tapi menggunakan bahasa yang puitis. Membuat orang menerka-nerka makna di balik sebuah kata.

Beberapa tahun terakhir menerapkan ‘Writing for Healing’ ini sedikit banyak memberikan manfaat positive untuk diri saya sendiri. Saya belajar memvalidasi emosi saya dan melampiaskan dengan cara menulis.

Setelah kalian membaca tulisan ini itu berarti saya telah melakukan treatment ini selama kurang lebih empat tahun. selain menulis tentunya dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah healing terbaik bagi umat Islam.

Apakah kalian punya pengalaman yang sama? Bisa cerita di kolom komentar ya.

Sumber artikel

Writing to heal by Bridget Murray (American Psychological Association)

Writing Can Help Us Heal from Trauma by Deborah Siegel-Acevedo (Harvard Business Review)

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Hayo mau ngapain???