Masih Tentang Menunggu
Thought

Masih Tentang Menunggu

Punya sahabat yang semuanya laki-laki rasanya seperti saudara. Jika salah satunya tidak bisa menjagaku maka yang lainnya akan mengambil perannya. Merasa dilindungi, dijaga dan dibimbing is another level of happiness.

Namun, ketika satu persatu mereka memilih untuk hidup dengan pasangannya masing-masing sepertinya saya harus paham bahwa tugas mereka kini beralih menjadi pelindung dan menjaga keluarganya.

Meskipun mereka akan tetap ada untukku tanpa ku minta sekalipun. Kami berlima, sebut saja inisial merek M1, M2, M3, dan M4. Kami berlima punya awalan nama yang sama yaitu M, dan saya M5. M1, M2, dan M3 menikah tidak sempat saya hadiri, salah satu diantaranya karena saya sedang dirawat di RS saat itu.

Istri mereka pun paham hadirnya saya sebagai sahabat yang tidak patut untuk dicemburui namun sebagai perempuan saya tentu juga perlu tahu diri posisi saya. Tapi itu tidak membuat persahabatan kami renggang.

Masih ada M4 yang belum menikah, dia yang selalu menemaniku kemana-mana. Nonton, makan bareng atau sekadar keluar sebentar untuk cerita. Tentu saja cerita tentang beberapa perempuan yang yang jadi targetnya.

Beberapa foto yang dia tunjukkan padaku namun belum ada yang menurutku cocok dengannya kecuali satu, gadis yang bermata sipit itu.

Baca Juga: Jika Bersamamu Saya Masih Melakukan Semuanya Sendiri, Lantas Hadirmu Apa Artinya

Setelah jalan bareng kami kembali ke aktivitas kami masing-masing. Kembali ke daerah tempat kami kerja. Obrolan kami berlanjut di grup Whatsapp yang isinya cuma 5 manusia.

Beberapa bulan kemudian M4 mengabariku jika Januari nanti dia akan melamar gadis sipit itu. Obrolan melalui smartphone itu cukup lama, dia bercerita perjuangan untuk meraih hati gadis pilihannya, perjuangan minta restu orang tua si gadis sungguh di luar nalar.

Saya tidak habis teman saya yang setengah gila ini bisa seserius ini.

“Kamu tidak perlu menuntun laki-laki untuk mengejarmu, tapi jika dia tujuanmu dia akan memperjuangkan mu” ucapnya tegas

“Wets alay juga” kata mencibirnya

Dia hanya tertawa

Januari yang dinanti pun tiba. Saya sudah ada di venue pernikahannya. M1, M2,M3, tidak sempat hadir karena sedang ada tugas di luar kota.

Prosesi akad pun dimulai. Mataku sudah berkaca-kaca, tatkala akad terucap, tangisku pecah tak mampu ku bendung.

“Akhirnya si playboy ini nikah juga” gumamku sambil menahan tangis.

Selesai akad, kedua mempelai menuju pelaminan. Dari kejauhan M4 menatapku sambil berbisik sesuatu ke istrinya.

“Dia itu sahabatku yang selalu saya ceritakan” kira-kira seperti itu katanya.

Di pelaminan dia terus menatap istrinya diam-diam. Tatapan tulusnya tidak bisa bohong seolah-olah berkata;

Baca Juga: Tidak Ada Kewajiban Membuat Semua Orang Senang

“Ini wanita yang aku mau”

Aku terdiam begitu lama, menatap keduanya begitu bahagia.

“Adakah cinta tulus seperti itu ditulis untukku juga?”

“Adakah yang mau memperjuangkan aku?”

“Adakah yang menjadikan aku tujuannya?”

Pertanyaan itu terus menggerogotiku sampai menitikkan air mata ditengah keramaian orang-orang yang mendoakan kedua mempelai diatas sana.

“Boleh duduk disini?” tanya seorang Ibu yang membuyarkan lamunanku

“Oh Boleh Bu” jawabku sambil menyeka air mata

“Temannya ya?” Tanya ibu itu lagi

“Iya Bu, sahabat waktu kuliah”

“Pengantin Pria atau Wanitanya”

“Pengantin Prianya bu” jawabku lagi

“Kalau ade sudah menikah?”tanya lagi

“Eh belum bu” jawabku dibayangkan saja bagaimana senyumku

Baca Juga: Jika Menangis Itu Melegakan, Maka Menangislah

“Kadang bukan cinta yang belum datang, tapi waktunya yang belum menghampiri karena ada hati yang masih sibuk belajar menata hati, masih belajar ikhlas dan tenang setelah beberapa kali tenggelam dan karam di laut yang sama” cerita ibu itu

“Kadang kita merasa sendiri tapi sebenarnya yang menunggu kita itu bukan manusia, tapi takdir yang masih sibuk dengan tinta yang menulis cerita itu, dan cerita itu belum sampai pada baris yang menyebut namamu di samping nama seseorang. Tuhan sedang menata pertemuan mu dengan begitu indah seperti senja di sore hari. Akan terlambat bagi mata yang terburu-buru tapi selalu tepat bagi mereka yang sabar menunggu sampai cahaya terakhir sebelum gelap tiba.” lanjutnya menatapku dalam

“Cinta itu tidak selalu datang dalam bentuk uluran tangan, atau pelukan hangat. Tapi bisa dalam bentuk nafas yang masih kita rasakan, masih bisa bangun lebih awal untuk membuat sarapan meskipun harus makan sendiri.”

“Allah belum mengirimkan seseorang untukmu karena Allah ingin kamu belajar mencintai diri sendiri tanpa syarat dan tanpa harus menunggu validasi orang lain. Bagaimana Allah mau mempertemukan kamu dengan seseorang jika kamu belum mampu menghargai diri sendiri? Bagaimana kamu mengisi gelas yang kosong jika gelasmu saja masih kosong?”

“Allah sengaja menunjukkan kebahagian orang lain bukan untuk membuatmu sedih atau patah hati, mungkin setiap air mata yang keluar itu Allah sedang berbisik bahwa Allah juga mampu menyiapkan hal yang seindah itu untukmu, tunggulah di waktu yang paling tepat”

Baca Juga: Kita Punya Batas Kesanggupan Masing-Masing, Maka Bijaklah!

“Kamu akan mengira bahwa cinta itu ketika bertemunya dua orang di pelaminan. Padahal cinta sejati adalah pertemuan dua hati yang sudah mengerti waktunya. Kadang ada cinta yang tiba saat kau masih mencari, dan ada yang pergi saat kau belum paham arti hadirnya. Tapi ada cinta yang datang perlahan tanpa huru-hara, mengetuk pintu yang sudah sejak lama tertutup itu dengan tanpa suara, dan ketika pintu itu kau buka ternyata dia sudah berdoa sejak lama.”

“Itulah cinta yang Allah siapkan untukmu, cinta yang tidak membuatmu kehilangan dirimu sendiri, cinta yang tenang dan tidak berisik, cinta yang menuntun mu pulang ke surga kelak.”

“Kapan cinta itu datang tentu saja berbeda di semua orang, ada yang menemukan cintanya di pelaminan, ada yang menemukannya dalam doanya. Mungkin kisahmu ditulis bukan untuk di nonton di dunia tapi disaksikan di langit.”

“Mungkin saja disetiap tetesan air mata ketika melihat kebahagian orang lain, tinta takdir terus melanjutkan ceritanya sampai ada seseorang yang berkata, ‘terimakasih sudah menungguku dengan cara yang paling sabar’.

Ibu itu menutup ceritanya dan saya berulang kali menyeka air mata yang tadinya sudah kering. Ibu itu tersenyum lalu mengelus punggungku kemudian berpamitan dan pergi tanpa memperkenalkan dirinya siapa, dari mana.

Seperti kata ibu itu, memang masih harus menunggu yang datang perlahan tanpa suara, tenang tanpa huru-hara. Semoga yang dimaksud si ibu bukan malaikat maut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Hayo mau ngapain???