Fiction

Rasanya Baru kemarin

Rasanya baru kemarin aku melihatmu tertawa di sudut ruangan itu mengunyah nastar yang toplesnya sudah ada di pangkuanmu sejak tadi. Rasanya baru kemarin kau bercerita tentang peliharaanmu yang kau ajari cara membuang air di kamar mandi.
Rasanya baru kemarin kau menelponku menanyakan kabar mantan-mantanku sambil tertawa puas. Rasanya baru kemarin kau menasehatiku untuk tidak jatuh cinta pada orang yang salah lagi. Rasanya baru kemarin kita berbuka puasa bersama dan aku tidak pernah tahu bahwa itu adalah kali terakhir aku melihatmu.  
 
Dan lebaran kali ini rasanya sendu tanpamu. Biasanya kau selalu datang kerumah menyapa siapa pun yang kau temui, entah itu Ibu, bapak ataupun bibi dirumah. Bapak hanya tertawa melihatmu dan menyuruhmu langsung masuk ke ruang tamu.
“Langganan setiap lebaran yang tak pernah absen datang kerumah”, kata bapak.
Tanpa aba-aba kau langsung duduk dan mengunyah apa saja yang ada di depanmu. Dengan kaos oblong dan celana panjang yang penuh dengan kantong di setiap sisinya selalu menjadi ciri khasmu oh ya topi hitam kesukaanmu tak pernah ketinggalan menutupi jidatmu yang lebar itu.
Denganmu aku menjadi pendengar setia yang mendengar setiap ocehanmu, hanya sesekali aku menimpali ketika kau mencoba menggodaku. Kau bahkan tak pernah berhenti bercerita sejak kau duduk di kursi itu sampai kemudian kau beranjak kembali untuk pergi.
Tapi, pemandangan itu tak kutemui lagi dimomen lebaran kali ini. Tak ada lagi tawa candamu yang menjengkelkan itu. Nastar yang biasa menjadi santapan favoritemu sekarang hanya menjadi riasan di atas meja tanpa tersentuh sedikit pun. Dinding di ruang tamu pun merindukan kedatanganmu yang kini tak akan kembali lagi.
Kau pergi dengan sangat tiba-tiba membuat tulangku tak punya kekuatan untuk menopang tubuhku yang kurus ini. Mataku tak cukup kuat untuk membendung air yang keluar dengan derasnya. Kau pergi tanpa permisi, tanpa memberiku tanda yang bisa aku baca.
Kau pergi saat ragaku jauh dari sisimu. Kau pergi disaat aku tak kuasa beranjak dari tempatku untuk melihatmu terakhir kali. Kau pergi di saat aku tak mampu berbuat apa-apa selain mengingkari kenyataan ini.
Kau meninggalkanku dengan pesan yang selalu kau ulang setiap bersua denganku “Jangan jatuh cinta pada orang yang salah
”Lantas bagaimana aku tahu jika itu adalah orang yang benar?” pertanyaan yang sama juga selalu kuutarakan padamu. Namun kau hanya tersenyum membalasnya.
Kemarin tante kerumah, kami berdua menangis tersedu-sedu dan maaf kami tak bisa menahannya, memori tentangmu terlalu indah dilupakan. Setelah banyak bercerita dan mengenang sosokmu Tante mengeluarkan buku dan benda kecil dari tasnya. Diary coklat dan sebuah kotak kecil yang katanya akan kau berikan kepadaku kelak.
Aku tidak pernah tahu bahwa kau menyimpan rahasia yang seharusnya aku tahu sebelum kau beranjak pergi. Tapi, kau cukup pandai menutupinya sampai aku tertipu oleh semua tingkahmu.
Aku tidak pernah tahu bahwa rasa tulus itu kau simpan untukku, padahal kau tahu berapa banyak yang pernah mengisi hatiku tapi kau menyimpan rasa itu hanya untukku. 
Kenapa baru sekarang Iz? Kenapa Faiz? Kenapa kamu gak bilang dari dulu sih? Maafkan aku yang bodoh ini tak mampu membaca perubahan sikapmu terhadapku.
Maafkan kebodohanku yang tak mampu memahamimu. Maafkan rasaku yang kurang peka ini, katakan padaku apa yang harus kulakukan sekarang dengan kebenaran yang kau tinggalkan ini untukku?
Katakan padaku apa yang harusku perbuat dengan sepasang cincin tak bertuan ini? Katakan padaku apa yang harus aku lakukan dengan ini semua? Katakan padaku sekarang!.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Hayo mau ngapain???
Exit mobile version